Monday, July 4, 2011

JAMAAH INI JAMAAH MANUSIA

“Kak, suatu ketika dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Sesama ikhwah/akhwat terasa ikatan ukhwah yang mantap. Tapi kebelakangan ini rasanya semakin hambar. Ukhuwah semakin kering. Bahkan ana melihat, ramai ikhwah dan akhwat yang hidup bermegah-megah dan bermewah-mewah. Bangga dengan kepintaran diri sendiri. Macam dia jer betul. Pandangan orang lain tak pernah diperhitungkan. Pelik ahh..." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbiahnya di suatu malam.
       Sang murabbiah hanya terdiam, mencuba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin anti lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbiah setelah sesaat termenung.
       “Ana ingin berhenti saja, keluar dari jamaah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah/akhwat yang tidak menggambarkan pribadi seorang muslim. Juga dengan organisasi dakwah yang di geluti; sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Pilih kasih. Bila begini terus, lebih baik ana sendiri saja..." jawab mad'u itu. Sang murabbiah termenung kembali. Tidak nampak raut terkejut dari wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawapan itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
        "Ukhti, cuba bayangkan, seandainya anti naik sebuah kapal mengharungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat buruk. Kain layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang reput bahkan kabinnya berbau hamis peluh manusia. Lalu, apa yang akan anti lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" Tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad'u terdiam berfikir. Tak menyangka mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. "Apakah anti memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai ke tempat tujuan?" Tanya sang  murabbi. "Bila anti terjun ke laut, sesaat anti akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Kesemua itu menyenangkan. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan anti untuk berenang hingga ke tempat tujuan? Bagaimana kalau ikan yu datang? Bila lapar... darimana anti nak mendapatkan makanan dan minuman? Bila malam datang, bagaimana anti mengatasi  kedinginan?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.   
    Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya. “Ukhti, apakah anti masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridha Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Dia hanya mengangguk. "Bagaimana bila temyata kereta yang anti kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Anti akan berjalan kaki meninggalkan kereta itu tergeletak di jalan, atau mencuba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.       
       Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba dia mengangkat tangannya, "Cukup kak, cukup. Ana sedar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat penghargaan atau kehormatan. Bukan jua agar setiap kata-kata ana diperhatikan...Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan biarlah hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazam di hadapan murabbiah yang semakin dihormatinya.       
       Sang murabbiah tersenyum. "Ukhti, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi disebalik kelemahan itu, masih banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah peribadi-peribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah. Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan kita. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuskanlah kesalahan mereka di mata anti dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Kerana di mata Allah, belum tentu anti lebih baik dari mereka."       
       "Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka sampai bilakah dakwah ini akan dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar. "Kita bukan sekadar pengamat yang hanya pandai memberi komen. Atau hanya pandai menuding-nuding jari atas sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun boleh melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahkan amanat oleh Allah untuk membenah masalah-masalah di muka bumi. Bukan tugas kita menilai dan 'mengekspost' segala kelemahan dan kesilapan, sehingga boleh mengakibatkan masalah menjadi lebih rumit. Kita seharusnya saling berganding bahu memperbaiki mana kekurangan dan kelemahan di dalam jemaah"     
       "Jangan sampai, kita seperti menyiram minyak ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, boleh menjelma menjadi nyalaan api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!" Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbiahnya. Azamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergayut dihatinya.      
       "Tapi bagaimana ana dapat memperbaiki organisasi dakwah ini dengan kemampuan ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga. "Siapa cakap  anti lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada anti? Semua manusia punya  kemampuan yang berbeza. Namun tidak ada yang boleh menilai, bahawa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut sang murabbi.       
       "Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah/akhwat yang terlibat dalam organisasi. Kerana peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isu atau gosip, tutuplah telinga anti dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil anti terhadap saudara anti sendiri. Dengan itulah, Bilal seorang mantan hamba yang hina menemui kemuliaannya."       
       Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya. Malam itu, sang mad'u menyedari kekhilafannya. Dia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari anda..Para Pembaca sekalian.
Wallahu a'lam. 

Sumber Majalah Al-Izzah, No. 07/Thn.4 di Bumbu oleh Ate No Moto.

2 comments:

  1. Ana cukup tersentuh dengan kisah ini.Terasa begitulah realiti kebanyakan daripada kita yang sering nampak kelemahan-kelemahan pada jama'ah tanpa sedar kita adalah sebahagian daripada kelemahan itu.Semoga setiap yang membacanya akan mendapat manfaat.

    ReplyDelete
  2. Pertama kali membacanya ana menaggis..terasa diri ana sebahagian dari kisah di atas.

    ReplyDelete

About

My photo
Ukhuwah Teras Kegemilangan

Tuliskan sebarang pertanyaan/ kemusykilan/ masalah anda di sini:

Nama:
Emel:
Soalan Anda:

Get your own free form like this one.