Sunday, July 10, 2011

SYURO: DENGAR DAN TAAT. PROSES KEIKHLASAN, TAWADHUK DAN BERLAPANG DADA

Apa yang harus kita lakukan seandainya tidak menyetujui hasil syuro? Bagaimana "mengelola" ketidak setujuan itu? Kenyataan seperti ini akan kita temukan dalam perjalanan dakwah. Dan itu lumrah saja. Kerana, merupakan implikasi dari fakta yang lebih besar, yaitu adanya perbezaan pendapat yang menjadi ciri kehidupan majmuk.

Kita semua hadir dan terlibat dalam dakwah ini dengan latar belakang sosial dan keluarga yang berbeza, tingkat pengetahuan yang berbeza, tingkat kematangan tarbawi yang berbeza. Walaupun proses tarbawi berusaha menyamakan cara berfikir kita sebagai dai dengan meletakkan manhaj dakwah yang jelas, namun dinamik personal, organisasi, dan persekitaran strategi dakwah tetap saja akan menyisakan celah bagi semua kemungkinan perbezaan.
Di sinilah kita memperoleh "pengalaman keikhlasan" yang baru. Tunduk dan patuh pada sesuatu yang tidak kita setujui. Dan taat dalam keadaan terpaksa bukanlah pekerjaan yang mudah. Itulah cubaan keikhlasan yang paling berat di sepanjang jalan dakwah dan dalam keseluruhan pengalaman spiritual kita sebagai dai. Banyak yang berguguran dari jalan dakwah, salah satunya karena mereka gagal mengelola ketidaksetujuannya terhadap hasil syuro. Jadi, apa yang harus kita lakukan seandainya suatu saat kita menjalani "pengalaman keikhlasan" seperti itu?  

Pertamamarilah kita bertanya kembali kepada diri kita, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu "upaya ilmiah" seperti kajian perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya? Kita harus membezakan secara ketat antara pendapat yang lahir dari proses ilmiah yang sistematik dengan pendapat yang sebenarnya merupakan sekadar "lintasan fikiran" yang muncul dalam benak kita semasa mesyuarat berlangsung.
Seadainya pendapat kita hanya sekadar lintasan fikiran, sebaiknya hindari untuk berpendapat atau hanya untuk sekadar berbicara dalam syuro. Itu kebiasaan yang buruk dalam syuro. Namun, kedegilan atas dasar lintasan fikiran adalah kebiasaan yang jauh lebih buruk. Alangkah menyedihkannya menyaksikan para duat yang degil mempertahankan pendapatnya tanpa landasan ilmiah yang kukuh.Tapi, seandainya pendapat kita terbangun melalui proses ilmiah yang intens dan sistematik, mari kita belajar tawadhu. Karena, kaedah yang diwariskan para ulama kepada kita mengatakan, "Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka memang salah, tapi mungkin benar."

Kedua, marilah kita bertanya secara jujur kepada diri kita sendiri, apakah pendapat yang kita bela itu merupakan "kebenaran objektif" atau sebenarnya ada "obsesi jiwa" tertentu di dalam diri kita, yang kita sedari atau tidak kita sedari, mendorong kita untuk "berdegil"? Misalnya, ketika kita merasakan perbezaan pendapat sebagai suatu persaingan. Sehingga, ketika pendapat kita ditolak, kita merasakannya sebagai kekalahan. Jadi, yang kita bela adalah "obsesi jiwa" kita. Bukan kebenaran objektif, walaupun — kerana faktor bisikan syaitan— kita mengatakannya demikian.Bila yang kita bela memang obsesi jiwa, kita harus segera berhenti memenangkan kesombongan dan hawa nafsu. Segera bertaubat kepada Allah swt. Sebab, itu adalah perangkap syaitan yang boleh jadi akan mengantar kita kepada pembangkangan dan kemaksiatan. Tapi, seandainya yang kita bela adalah kebenaran objektif dan yakin bahwa kita terbebas dari segala bentuk obsesi jiwa semacam itu, kita harus yakin, syuro pun membela hal yang sama. Sebab, berlaku sabda Rasulullah saw., "Umatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan." Dengan begitu kita menjadi lega dan tidak perlu berdegil mempertahankan pendapat pribadi kita.

Ketiga, seandainya kita tetap percaya bahwa pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang kemudian menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan pilihan yang salah, hendaklah kita percaya mempertahankan kesatuan dan keutuhan soff jamaah dakwah jauh lebih utama dan lebih penting dari pada sekadar memenangkan sebuah pendapat yang boleh jadi memang lebih benar.

Kerana, berkah dan pertolongan hanya turun kepada jamaah yang bersatu padu dan utuh. Kesatuan dan keutuhan soff jamaah bahkan jauh lebih penting dari kemenangan yang kita raih dalam peperangan. Jadi, seandainya kita kalah perang tapi tetap bersatu, itu jauh lebih baik daripada kita menang tapi kemudian bercerai berai. Persaudaraan adalah karunia Allah yang tidak tertandingi setelah iman kepada-Nya.Seadainya kemudian pilihan syuro itu memang terbukti salah, dengan kesatuan dan keutuhan soff dakwah, Allah swt. dengan mudah akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu. Baik dengan mengurangi tingkat risikonya atau menciptakan kesedaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu. Boleh juga berupa mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara yang logik, tepat waktu, dan tanpa risiko. Itulah hikmah Allah swt. sekaligus merupakan satu dari sekian banyak rhasia ilmu-Nya.

Dengan begitu, hati kita menjadi lapang menerima pilihan syuro kerana hikmah tertentu yang mungkin hanya akan muncul setelah berlalunya waktu. Dan, alangkah tepatnya sang waktu mengajarkan kita panorama hikmah Ilahi di sepanjang pengalaman dakwah kita.

Keempat, sesungguhnya dalam ketidaksetujuan itu kita belajar tentang begitu banyak makna imaniyah: tentang makna keikhlasan yang tidak terbatas, tentang makna tajarrud dari semua hawa nafsu, tentang makna ukhuwwah dan persatuan, tentang makna tawadhuk dan kerendahan hati, tentang cara menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah, tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat, tentang makna tradisi ilmiah yang kukuh dan kelapangan dada yang tidak terbatas, tentang makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Allah swt yang tidak terbatas, tentang makna tsiqoh (kepercayaan) kepada jamaah.

Jangan pernah merasa lebih besar dari jamaah atau merasa lebih cerdas dari kebanyakan orang. Tapi, kita harus memperkukuh tradisi ilmiah kita. Memperkukuh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dan pada waktu yang sama, memperkuat daya tampung hati kita terhadap beban perbezaan, memperkukuh kelapangan dada kita, dan kerendahan hati terhadap begitu banyak ilmu dan rahsia serta hikmah Allah swt. yang mungkin belum nampak di depan kita atau tersembunyi di hari-hari yang akan datang.
Perbezaan adalah sumber kekayaan dalam kehidupan berjamaah. Mereka yang tidak bisa menikmati perbezaan itu dengan cara yang benar akan kehilangan banyak sumber kekayaan. Dalam ketidaksetujuan itu sebuah rahsia kepribadian akan nampak ke permukaan: apakah kita matang secara tarbawi atau tidak.

*Dipetik dari buku Anis Matta: 'Menikmati Demokrasi'.
Sumber Photo: Sheikh Google

No comments:

Post a Comment

About

My photo
Ukhuwah Teras Kegemilangan

Tuliskan sebarang pertanyaan/ kemusykilan/ masalah anda di sini:

Nama:
Emel:
Soalan Anda:

Get your own free form like this one.